Selasa, 11 Mei 2010

Pemalsuan Surat Nikah

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Salah satu syarat perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah :
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Penetapan batas-batas umur untuk sebuah perkawinan dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunannya. Untuk itu seorang calon suami dan calon istri harus dapat menunjukkan kebenaran umur pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun maka harus mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebuah perkawinan yang sempat menarik perhatian sejumlah pihak adalah perkawinan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto (berusia 43 tahun), warga Desa Bedono, Kecamatan Jambu, dengan Lutfiana Ulfa, seorang anak yang masih berusia di bawah umur (berusia 12 tahun) pada 8 Agustus 2008 secara agama sebagai istri kedua. Pernikahan Syekh Puji dengan istri keduanya (walau hanya secara agama) telah memunculkan pro dan kontra masyarakat. Sebagian pihak menilai bahwa pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dan memenuhi syarat-syarat pernikahan, sah menurut hukum Islam. Namun, di pihak lain Syekh Puji dianggap telah melanggar hukum positif Undang-Undang Perkawinan yang mengatur batas usia menikah untuk anak perempuan adalah 16 tahun.
Di Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu misalnya, di daerah tersebut perempuan rata-rata menikah pada usia 14-15 tahun, sedangkan laki-laki berusia 17-20 tahun. Untuk menutupi status usia yang masih di bawah umur, tidak jarang dari mereka yang memalsukan usia. Di tempat lain seperti di Desa Leggung Barat, Kabupaten Sumenep, menikahkan anak usia dini untuk perempuan 13 tahun, lulus SD dan laki-laki 15 tahun atau usia SMP merupakan hal wajar. Pernikahan usia muda serta pernikahan di bawah umur sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur agar beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Atau bahkan dengan pernikahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan derajat ekonomi keluarga. Ada pula yang menikahkan anak perempuannya yang dibawah umur karena alasan tradisi.
Nikah atau perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Untuk itu agar hubungan menjadi legal, syarat-syarat yang ditetapkan dalam pernikahan harus dipenuhi. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Illahi. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek, yaitu :
(1) Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir batin”, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu.
(2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya “membentuk keluarga” dan berdasarkan “Ketuhanan Yang maha Esa”, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.
Sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh karena suatu perikatan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing, yang mana dalam Islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhinya syarat dan rukunnya.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang memalsukan syarat-syarat perkawinan ?
2. Bagaimana bentuk sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan ?
3. Bagaimana aspek hukum Islam terhadap tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan ?

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan seseorang memalsukan syarat-syarat perkawinan.
2. Untuk mengetahui bentuk sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan
3. Untuk mengetahui aspek hukum Islam terhadap tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan disyariyatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih sayang dan ridla Illahi. Di dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) perkawinan didefinisikan sebagai : “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga,rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani.
Nikah atau perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Oleh sebab itulah beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama perkawinan.
Asser, Scholten, Pilto, Petit, Melis, dan Wiarda , memberikan definisi, bahwa perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal. Esensi dari yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya,maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.
Sementara Soetoyo Prawirohamidjojo menyatakan, bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-undang (yuridis) dan kebanyaan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan, bahwa perkawinan adalah akad antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’ah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami-isteri. Di dalam lingkungan peradaban Barat dan di dalam sebagian lingkungan peradaban bukan Barat, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga ‘religius’, menurut tujuan suami-isteri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan.
Sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh arena suatu perikatan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing, yang mana dalam Islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhinya syarat dan rukunnya. Di samping itu, bila definisi perkawinan tersebut di atas ditelaah, maka terdapatlah lima unsur perkawinan di dalamnya, yaitu: (1) ikatan lahir bahtin; (2) antara seorang pria dengan seorang wanita; (3) sebagai suami-istri; (4) membentuk keluarga [rumah tangga] yang bahagia dan kekal; dan (5) berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
a. Ikatan Lahir Bathin
Dalam suatu perkawinan tindak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang suami-istri [hubungan formal]. Sedangkan ikatan bathin merupakan hubungan yang non formal, suatu iktan yang tidak tampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oelh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.
b. Antara Seorang Pria dengan Seorang Wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian Undang-undang ini tidak melegalkan hubungan perkawinan antara pria dengan pria, wanita dengan wanita, atau antara waria dengan waria. Selain itu juga bahwa unsur ini mengandung asas perkawinan monogomi.
c. Sebagai Suami-istri
Menurut Undang-Undang Perkawinan, persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandangi sebagai suami-istri, apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan dianggap sah, bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang, baik syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu; kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah syarat yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan perkawinan.
d. Membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang Bahagia dan Kekal
Keluarga adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga – karena tidak dapat lain. Masyarakat yang berbahagia akan terdiri atas keluarga-keluarga yang berbahagia pula. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungan dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, tidak akan bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian.
e. Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa
Berbeda dengan konsepsi perkawinan menurut KUH Perdata maupun Ordonansi Perkawinan Kristen Bumiputra [Huwelijks Ordonnantie Christen Inlanders], yang memendang perkawinan hanya sebagai hubungan keperdataan saja [lahiriah], Undang-undang Perkawinan mendasarkan hubungan perkawinan atas dasar kerokhanian.
.
B. Syarat Sahnya Perkawinan
Dalam fiqih Syafi’iyyah disebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima yaitu : mempelai perempuan, mempelai laki-laki, wali, dua orang saksi; sighat (ijab dan qabul). Sebenarnya imam Syafi’i sendiri memasukkan dua orang saksi itu sebagai syarat bukan sebagai rukun. Sebagaimana ungkapan telah sepakat Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik, bahwa persaksian adalah termasuk syarat nikah. Sedangkan syarat-syarat nikah adalah sebagai berikut :
1. Syarat-syarat calon suami isteri :
a. Tidak termasuk mawani’an-nikah.
b. Calon suami isteri telah tertentu
c. Tidak dalam sedang ihram baik ihram haji maupun ihram umrah
2. Syarat-syarat sighat
a. Dengan lafadz taswij atau nikah
b. Dengan lafadz yang jelas (sharih) dalam ijab atau qagal.
c. Kesinambungan ijab dan qabul
d. Tidak dibatasi waktu
e. Pihak yang beratap termasuk “al-hiyah al-adal” hingga selesainya qabul.
3. Syarat-Syarat Wali
a. Islam
b. Adil
c. Baliq dan berakal
d. Tidak dalam pengampuan
e Tidak punya penyakit yang merusak pikiran
f. Tidak dalam berihram.
4. Syarat-Syarat Saksi
a. Islam
b. Laki-laki
c. Adil
d. Dapat mendengar dan melihat.
Adapun sahnya nikah, perempuan itu halal untuk dinikahi oleh laki-laki yang menghendaki hidup berdampingan dengannya. Maka disyaratkan perempuan tersebut tidak haram untuk dinikahi baik haram yang bersifat abadi atau bersifat muakad (sementara). Selain itu, menghadirkan para saksi pada saat pernikahan. Dengan demikian, persetujuan kedua belah pihak merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat material dalam perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Persetujuan dari kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1). Persetujuan itu haruslah murni, yang bentuk betul-betul tercetus dari para calon suami isteri sendiri, dalam bentuk kemauan untuk hidup bersama seumur hidup dan bukan secara paksaan. Orang tua atau wali atau keluarga dekat tidak boleh memaksa mereka untuk melakukan perkawinan apabila mereka tidak setuju terhadap pasangannya. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya. Jadi disini tidak ada paksaan terlebih pada masyarakat yang telah maju.
2. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun, dan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat 1). Jika belum mencapai unsur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan diperlukan suatu dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
3. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain (pasal 9), kecuali poligami yang diijinkan oleh Pasal 3 ayat dan Pasal 4.
4. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (Pasal 11 ayat 1) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
5. Tidak melanggar larangan kawin serta sebagai yang diatur dalam Pasal 8, 9, 10, yaitu mengenai larangan perkawinan antara dua orang karena hubungan darah, semenda, sesusuan, perkawinan dan larangan agama.
6. Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan isteri yang akan dikawin, sesuai bunyi Pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
7. Ijin kedua orang tuanya bagi mereka yang belum mempunyai umur 21 tahun, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu tidak menentukan lain.
Adapun syarat-syarat formal dalam perkawinan sebagai berikut :
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.
2. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan
3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing.
4. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

C. Tindak Pidana Pemalsuan dalam Hukum Pidana
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII dari Pasal 263 s/d Pasal 276 KUHPidana. Tindak Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHPidana (membuat surat palsu atau memal-sukan surat); Pasal 264 (memalsu-kan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh mema-sukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik). Melihat kasus yang Saudara ke-mukakan, kemungkinan besar sahabat Saudara tersebut melaku-kan perbuatan hukum sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 263 atau Pasal 264 KUHPidana.

D. Perspektif Hukum Islam Mengenai Tindak Pidana Pemalsuan (Penipuan)
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah. Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Dua orang yang sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda pula: "Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain mengetahuinya?! Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan) makanan yang oleh pemiliknya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga yang pantas; sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan tidak menipu.

METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini dilakukan secara diskriptif,
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini mengunakan data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari wawancara (interview dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkawinan yaitu KUA Bangsri) sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, yaitu berupa buku, literatur yang berkaitan dengan masalah pemalsuan syarat-syarat perkawinan.
5. Metode Analisis Data
Pada analisis data ini penulis menggunakan metode kualitatif,


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Seseorang Dinyatakan Memalsukan Syarat-syarat Perkawinan
Berdasarkan aspek sosial, perkawinan mempunyai dua arti penting yaitu : Pertama, orang yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin. Khusus bagi kaum wanita, perkawinan akan memberikan kedudukan sosial yang tinggi, karena ia sebagai istri, dan wanita mendapat hak-hak tertentu serta dapat melakukan tindakan hukum perdata, yang ketika masih gadis tindakan-tindakannya masih terbatas. Kedua, sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, wanita dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun negara belum menganggap perkawinan menjadi sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta atau pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Oleh karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Hal ini dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 2 dan 3 bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Namun, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah atau kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ialah berkenaan dengan asas monogami. Itu berarti, perkawinan yang kesekian kalinya hanya dapat dilakukan apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri (meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan), hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan sebuah perkawinan di Indonesia adalah :
1. Surat keterangan Belum / Pernah Kawin dari Lurah / Kepala Kampung yang dilegalisir oleh Camat setempat
2. Foto Copy KTP Masing-masing pighak yang dilegalisir oleh Camat setempat
3. Foto Copy Kartu Keluarga Orang Tiap Masing-masing pihak yang dilegalisir oleh Camat setempat
4. Foto Copy Akte Kelahiran yang dilegalisir dan menunjukkan aslinya
5. Foto Copy Surat Baptis / Permandian, Surat Keterangan dari Wihara dilegalisir oleh Pimpinan Agama (bagi non muslim)
6. Surat Ijin Orang Tua bagi yang belum mencapai usia 21 Tahun
7. Surat Ijin Pengadilan Negeri bagi :
a. Pria dibawah umum 19 tahun
b. Wanita di bawah umum 16 tahun
8. Foto Copy Akte Perceraian / Akta Kematian bagi Suami / Istri yang sudah pernah menikah menunjukkan aslinya
9. Surat Dispensasi dari Camat apabila dikenhendaki Pencatatan perkawinan dilaksanakan kurang dari 10 (sepuluh) hari pengumuman
10. Surat Perjanjian Perkawinan dari Instansi yang berwenang bagi yang menginginkan Pisah Harta
11. Surat Ijin dari Komandan / Atasan Langsung bagi Anggota TNI / POLRI dan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
12. Pas Photo Gandeng (Foto Bersama) Ukuran 6 x 4 cm Hitam Putih atau Warna sebanyak 3 lembar
13. Akta Kelahiran Anak Luar Nikah yang akan diakui dan disahkan dalam perkawinan
14. Surat Pengakuan Bersama
15. Immunisasi TT (Toksoid) dari dokter Puskesmas atau Rumah Sakit untuk calon istri
16. Surat Bukti Kewarganegaraan
a. Warga Negara Indonesia Keturunan
 SKBRI
 Surat Keterangan ganti nama dari Instansi berwenang
 Foto Copy Akta Perkawinan Orang Tua (Asli dibawah serta)
b. Warga Negara Asing
 Foto Copy STMD ( Surat Tanda Melapor Diri) Asli dibawah serta
 Foto Copy SKK (Surat Kterangan Kependudukan) Asli dibawah serta.
 STP (Surat Tanda Pendaftaran)
 KIMS (Kartu Ijin Menetap Sementara)
 Pajak Bangsa Asing
 Surat Keterangan dari Kedutaan / Konsul
 PASPOR
 Foto Copy Surat Ijin dari Depnaker bagi tenaga kerja asing
 Surat Keterangan dari perusahaan tempat kerja
17. Retribusi :
 WNI Rp. 25.000,-
 WNA Rp. 50.000,-
Berbagai persyaratan yang rumit beserta peraturan pelaksanaan yang mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat, bagi sebagian orang dianggap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup menjanjikan yaitu dengan menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri (bawah tangan) sampai membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang berkeinginan untuk memadu (memiliki istri lebih dari satu), hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif yang tepat. Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Tidak dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang menyatakan perkawinan tersebut sah.
Terjadinya praktek pemalsuan syarat-syarat perkawinan sebagai akibat rumit dan mahalnya biaya yang digunakan untuk mempersiapkan persyaratan yang semestinya. Misalnya : calon harus memiliki Akta Kelahiran, padahal saat ini untuk pengurusan Akta Kelahiran bagi seseorang yang terlambat (usia lebih dari 1 tahun) dikenakan denda yang sangat besar.
Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal istilah ''kawin di bawah tangan'' atau semacamnya. Istilah “kawin di bawah tangan” diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan, dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan UU yang berlaku. Akibat hukum perkawinan di bawah tangan, meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah karena merujuk kepada sahnya perkawinan (Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang 1/1974), tetap saja perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, dan dianggap tidak sah di mata hukum.
Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Istri tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan suami jika ia meninggal, dan tidak berhak atas harta gono-gini (yang didapat secara bersama) jika terjadi perpisahan karena, secara hukum perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi.
Faktor-faktor yang menyebabkan individu memalsukan syarat-syarat perkawinan antara lain karena :
1. Surat-surat tidak lengkap
Prosedur pernikahan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang paling utama dalam kehidupan masyarakat yang sempurna. Namun perkawinan juga merupakan suatu hal yang mempunyai dasar-dasar hukum. Jadi perkawinan bukan sesuatu permainan, karena perkawinan mempunyai kedudukan hukum, baik hukum menurut syariat Islam maupun hukum menurut Undang-Undang. Pendaftaran pernikahan sesuai ketentuan yang berlaku adalah setiap pasangan mempelai yang akan melangsungkan pernikahannya harus mendaftarkan dirinya kepada kantor Desa setempat. Langkah ini harus ditempuh setiap pasangan untuk memperolah surat pengantar. Jika tidak ada surat pengantar dari Desa atau Kelurahan, setiap pasangan tidak dapat melakukan pernikahan.
Penghulu tidak dapat menikahkan pasangan yang tidak memiliki surat pengantar dari desa. Surat pengantar ini disebut sebagi lembaran N1. Selain lembar N1 ini, langkah selanjutnya yang harus ditempuh setiap pasangan yang akan melamgsungkan pernikahan yaitun harus mengisi lembaran N2 dan N4.
Lembaran N2 adalah surat keterangan asal-usul. Pada lembaran ini mempelai laki-laki dan perempuan harus mengisi biodata masing-masing. Lembaran N2 ini nantinya akan diketahui asal-usul dan status kedua mempelai sehingga akan diketahui apakah si calon suami berstatus duda atau perjaka dan sebaliknya.
Selanjutnya kedua mempelai juga harus mengisi lembaran N4. Lembaran N4 ini berisi tentang biodata orang tua kedua mempelai. Mempelai yang tidak memiliki ketiga lembaran ini, menurut KUA tidak dapat dinikahkan. Misalnya : Tidak ada wali nikah, tidak memiliki KTP dan tidak memiliki Kartu Keluarga.

2. Calon mempelai masih dibawah umur
Adanya pembatasan usia kawin yakni calon mempelai pria 19 tahun dan calon mempelai wanita 16 tahun terkandung maksud, bahwa calon suami istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu, harus di cegah adanya perkawinan antara suami istri yang masih di bawah umur.
Pada kenyataannya, batas usia kawin yang lebih rendah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibanding dengan batas usia kawin yang lebih tinggi. Selain itu pembatasan usia kawin juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Untuk itulah, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 membatasi yang sekaligus sebagai syarat dari suatu perkawinan yang dicantumkan dalam Bab II Undang-Undang No. 1/1974 yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Akan tetapi pada kenyataan kehidupan sehari-hari masyarakat kurang menyadari akan pentingnya pembatasan usia kawin yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Bahkan ada masyarakat yang melanggar norma-norma hukum tersebut karena adanya kekhawatiran anak perempuannya menjadi perawan tua. Untuk itu, maka tidak jarang pula para orang tua menempuh berbagai cara seperti kawin siri (nikah yang dilakukan secara agama Islam, tapi tidak di catat pada pencatat nikah) atau kawin paksa yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang No. 1/1974.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan usia perkawinan adalah 19 tahun bagi Pria dan 16 tahun bagi Wanita. Akan tetapi jika para calon mempelai melangsungkan perkawinan dalam usia di bawah 21 tahun, maka calon mempelai harus memperoleh ijin dari orang tua. Apabila calon mempelai masih di bawah 19 tahun bagi Pria dan di bawah usia 16 tahun bagi Wanita, maka harus memperoleh Dispensasi dari Pengadilan Negeri. Kemungkinan terjadinya pemaksanaan perkawinan dibawah usia minimal calon mempelai adalah karena calon istri tengah hamil sehingga usia perkawinan terpaksa dipercepat. Untuk mempermudah proses, tidak jarang ditempuh dengan menambah usia calon istri pada KTP.
3. Salah satu calon masih terikat perkawinan dengan pihak lain
Pengisian Lembaran N2 sangat rentan dengan pemalsuan. Misalnya : pada Lembaran N2, status calon suami sebenarnya adalah seseorang yang masih memiliki status sah sebagai suami dalam perkawinan pertama, akan tetapi pada saat pengajuan perkawinan kedua calon suami tersebut mampu menunjukkan bukti KTP dan KK yang menunjukkan dirinya masih berstatus perjaka dan belum terikat perkawinan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena praktek-praktek pembuatan KTP maupun KK asli tapi palsu (aspal) masih marak dan berani secara terbuka menawarkan jasanya.
Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi, artinya seorang calon suami tidak harus menyembunyikan identitas aslinya selama calon suami tersebut mendapatkan tanda tangan atau persetujuan dari istri sah pertamanya bahwa calon suami tersebut diijinkan untuk menikah lagi. Hal inilah yang dihindari karena pada umumnya, terjadinya perkawinan kedua atau lebih justru disembunyikan dari pengetahuan istri pertama.
4. Mengubah identitas
Pemalsuan syarat-syarat perkawinan kemungkinan juga dapat digunakan sebagai upaya alternatif untuk mengubah identitas seseorang. Seperti contoh kasus di Pengadilan Kudus yaitu Kasus Kusmanto (40) alias Sabda Kusuma yang didakwa memasukkan keterangan palsu akte autentik. Dalam dakwaan primer yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah bahwa Sabda didakwa melanggar pasal 266 ayat (2) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tentang Pemalsuan Surat, sedangkan dakwaan subsider pasal 263 ayat (2), junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun. Sabda Kusuma bersama istri ditahan oleh aparat kepolisian sejak 16 Desember 2009.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kepolisian, keduanya terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa memasukkan keterangan palsu pada akte autentik saat mengurus kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK) dan surat nikah. Dari hasil penyelidikan, petugas menemukan bukti kepemilikan dua surat nikah milik Sabda Kusuma alias Kusmanto yang dikeluarkan oleh instansi terkait dari Kabupaten Kudus dan Demak dengan nama tak sama.
Selain memiliki dua surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gebog, Kudus dan KUA Kecamatan Karanganyar, Demak, Sabda juga memiliki beberapa KTP dan KK dengan nama yang tidak sama. Nama asli Sabda Kusuma adalah Kusmanto kelahiran Desa Terban, Kecamatan Jekulo yang menikah dengan Siti Choriyah asal Desa Klumpit, Kecamatan Gebog pada 1 Mei 1997 lalu, dengan nama sesuai akte kelahiran.
Setelah menikah, kedua pasangan tersebut pindah alamat ke Terban dan membuat KTP dan KK baru untuk memulai usaha di bidang jual beli kertas bekas. Pada tahun 2004, Sabda membuat akte kelahiran, KTP, dan KK baru dengan tempat dan tanggal lahir Desa Karanganyar. Dalam KTP dan KK baru yang dikeluarkan dari Desa Karanganyar, nama Kusmanto berubah menjadi Sabda Kusuma, sedangkan Siti Choiriyah berubah menjadi Sri Ana Aniqul Untsa.
Setelah terbit KTP dan KK baru, keduanya kembali menggelar pernikahan secara resmi di KUA Karanganyar dengan atas nama Sabda Kusuma dan Sri Ana Aniqul Untsa pada 10 Desember 2004. Nama orang tua kedua pasangan tersebut juga diubah. Berdasarkan ketentuan yang ada, untuk mengubah nama harus menempuh prosedur yang benar diperkuat dengan penetapan di pengadilan. Setelah mendapatkan nama identitas yang baru dari Desa Karanganyar, Sabda bersama istrinya pindah ke Desa Kauman dan membuat KTP dan KK yang baru pada tahun 2005 dengan nama Sabda Kusuma dan istrinya bernama Sri Ana Aniqul. Rupanya pemalsuan akte autentik adalah untuk melakukan penyebaran ajaran yang menyimpang, salah satunya dengan mengubah kalimat syahadat.
Masyarakat diharapkan mulai tumbuh kesadarannya sehingga dampak negatif fenomena yang menyimpang dalam praktek pemalsuan syarat-syarat perkawinan tersebut sedapat mungkin dapat diatasi atau bahkan bila mungkin dapat dihindarkan.

Bentuk Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Syarat-Syarat Perkawinan
Tindakan-tindakan melanggar hukum tentunya akan dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya. Tindakan yang diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan adalah :
1. Surat-surat tidak lengkap
Surat-surat yang tidak lengkap tentunya akan memunculkan pemikiran bagi individu yang hendak melangsungkan perkawinan. Petugas tentu mengetahui apakah syarat-syarat yang dibutuhkan sudah lengkap atau tidak. Apabila surat-surat tidak lengkap yang berarti syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, akan tetapi oleh petugas pasangan calon pengantin dapat dinikahkan maka pelaku yang menerbitkan surat nikah atau mengaku menjadi seorang penghulu "aspal", dapat dikenakan ancaman atau dijerat tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) dan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) dengan ancaman hukuman masing-masing enam dan empat tahun penjara. Tidak saja bagi pelaku, terhadap korban yang apabila ternyata beriktikad jahat dapat dikenakan Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penyertaan dalam Melakukan Tindak Pidana.
2. Calon mempelai masih dibawah umur
Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Sama halnya dengan Hukum Adat di Indonesia yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika anak tersebut dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.

Pada Pasal 15 KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun1974, namun dengan tambahan alasan : untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga maka secara eksplisit tidak tercantum secara jelas larangan untuk menikah dibawah umur.
Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari Pengadilan atau Pejabat yang berkompeten. Namun demikian perkawinan dibawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau istri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Perkawinan dapat dicegah oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami, istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau salon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide Pasal 62, 63 dan 64 KHI).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun1974 (vide Pasal 71).
Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
3. Salah satu calon masih terikat perkawinan dengan pihak lain
Menurut Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa :
“Suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama."
Dalam ayat (3) disebutkan lagi " Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum." Sementara itu, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1970 menyatakan bahwa :
“Seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dihendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (pasal 3 ayat (2)). Artinya suami menghendaki dengan wanita lain, sedang isteri tidak keberatan dengan perkawinan itu.”

Pasal 60 KUHperdata disebutkan '' Barang siapa masih terikat perkawinan dengan salah satu pihak, termasuk juga anak-anak yang lahir dari perkawinan ini, berhak mencegah perkawinan baru yang dilaksanakan, tetapi hanya berdasarkan perkawinan yang ada." Berdasarkan ketentuan tersebut jelas bahwa perkawinan kedua harus mendapat izin baik itu dari Pengadilan ataupun dari isteri pertama jika tidak maka isteri kedua tidak akan diakui keberadaannya.
Persetujuan itu dapat tertulis atau lisan walaupun demikian tetap dipertegas persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama maka perkawinan dapat dilaksanakan tetapi jika tidak ada persetujuan maka perkawinan itu tidak sah, akibatnya isteri pertama dapat membatalkan perkawinan tersebut. Bila isteri pertama tidak memberikan persetujuan baik secara lisan maupun tulisan, ada kemungkinan pelaku akan membuat KTP dengan status belum menikah. Dengan demikian berarti pelaku secara tidak langsung telah memalsukan status yang sebenarnya. Pelaku dapat dikenai tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) dengan ancaman hukuman masing-masing enam dan empat tahun penjara.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, sering terdengar pihak-pihak yang berkeinginan untuk melakukan perceraian untuk menikah lagi, tetapi banyak pula yang melakukan perkawinan kedua (poligami) dimana seorang suami ingin memiliki dua istri atau lebih tanpa melakukan perceraian dengan istri sebelumnya. Pasal 279 KUHP Pidana menyatakan :
Ayat (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Ke – 1 : Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal diketahuinya, bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
Ke – 2 : Barang siapa mengadakan perkawinan padahal diketahuinya bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan dengan pihak lain menjadi penghalang untuk itu;
Ayat (2) : Jika yang melakukan pembuatan yang diterangkan dalam ke-1 menyembunyikan kepada pihak lainnya bahwa perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Apabila seseorang memalsukan segala sesuatu untuk menyembunyikan atau perkawinan-perkawinan terdahulu untuk menikah lagi, padahal sebetulnya ia tahu bahwa perkawinannya yang terdahulu itu merupakan penghalang yang sah baginya untuk menikah lagi dan tetap saja ia lakukan, maka ancaman pidananya cukup berat, yaitu paling lama berkisar 5 (lima) hingga 7 (tujuh) tahun. Dengan demikian tampak jelas masih sering terjadinya perkawinan liar, talak liar, poligami liar, dan kesemuanya itu dilakukan tanpa memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur oleh Undang-Undang 1 tahun 1974 dan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu dalam pasal 263 dan pasal 279 KUHP.

Aspek Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Syarat-Syarat Perkawinan
Sebenarnya segala hukum dan adat istiadat boleh dilakukan oleh setiap umat dalam hukum perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam, kesucian dan keutuhan ikatan perkawinan hendaknya dijaga dengan sebaik-baiknya. Di Indonesia perkawinan umat Islam telah mendapat jaminan hukum dari pemerintahan RI, dengan UU perkawinan No. 2 tahun 1946 dan telah dinyatakan bagi seluruh bangsa Indonesia dengan UU No. 35 tahun 1954 menyatakan: “Barang siapa melakukan perkawinan yang tidak menurut Undang-undang dapat dituntut; walaupun sah menurut hukum Islam, karena Undang-undang mengatur perlindungan hakim yang tegas supaya benar-benar syariat Islam ditegakkan”.
Olehnya itu, seseorang wajib mengikuti segala peraturan yang telah menjadi ketetapan pemerintah. Hukum yang mengatur segala yang dikerjakan oleh setiap manusia, baik hukum itu berasal dari Allah, Rasulullah maupun dari ketetapan pemerintah. Allah memudahkan pernikahan, tetapi pernikahan itu sendiri tidak boleh dimudah-mudahkan untuk melaksanakan. Pernikahan tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah disyariatkan. Setiap manusia yang akan melangsungkan pernikahan maupun bentuk akad lainnya selalu terikat oleh hukum, tergantung dari niat seseorang yang akan melaksanakan pernikahan itu.
Dengan memahami hukum-hukum perkawinan maka seseorang tidak akan keliru dalam mempraktekkan kehidupannya dalam berumah tangga dan dalam bermasyarakat. Dengan demikian kedudukan perkawinan sangatlah penting menurut hukum Islam. Olehnya itu masyarakat tidak akan lagi melaksanakan pernikahan yang dimaksudkan.
Kedudukan pernikahan yang tidak tercatat (Nikah di bawah tangan) menurut UU No. 1 tahun 1974. Pencatatan pernikahan bertujuan untuk menjadikan peristiwa pernikahan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, bagi orang lain maupun bagi masyarakat. Suatu surat yang bersifat resmi dibuat dalam suatu daftar sehingga surat itu sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana hal itu perlu, terutama sehingga sebagai suatu alat bukti yang autentik.
Dengan ketetapan tersebut di atas adalah sama seperti yang disyariatkan dalam Islam. Jadi dengan pencatatan peristiwa pernikahan itu dapat menjadi jelas dan bersifat resmi karena perkawinan tersebut telah terdaftar di KUA bagi beragama Islam.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur’an dan Hadist tidak menyebutkaan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.
Pemalsuan surat nikah dalam hukum Islam termasuk penipuan sehingga termasuk jarimah ta'zir yakni hukuman diserahkan kepada hakim. Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri (penguasa/hakim).

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dinyatakan memalsukan syarat-syarat perkawinan yaitu surat-surat tidak lengkap, calon mempelai masih dibawah umur, salah satu calon masih terikat perkawinan dengan pihak lain dan keinginan mengubah identitas.
2. Bentuk sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan
Apabila surat-surat tidak lengkap yang berarti syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, akan tetapi oleh petugas pasangan calon pengantin dapat dinikahkan maka pelaku yang menerbitkan surat nikah atau mengaku menjadi seorang penghulu "aspal", dapat dikenakan ancaman atau dijerat tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) dan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) dengan ancaman hukuman masing-masing enam dan empat tahun penjara. Tidak saja bagi pelaku, terhadap korban yang apabila ternyata beriktikad jahat dapat dikenakan Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penyertaan dalam Melakukan Tindak Pidana.
3. Aspek hukum Islam terhadap tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan termasuk dalam hukum jarimah ta'zir yakni hukuman diserahkan kepada hakim..
B. Saran
Sebaiknya kebijakan hukum pidana Islam dibutuhkan dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan, kebijakan hukum pidana (criminal policy) dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mewujudkan perundang-undangan pidana atau suatu metode, mekanisme, serta langkah-langkah penegakan hukum yang ditempuh guna mengatasi suatu permasalahan dalam hukum pidana. Oleh karena itu, fungsionalisasi dan aktualisasi kebijakan hukum pidana Islam sangat diperlukan guna mengatasi masalah tindak pidana pemalsuan ini. Pokok dari dibentuknya kejahatan pemalsuan ini adalah perlindungan hukum atau jaminan kepercayaan atas kebenaran sesuatu yang ditujukan bagi masyarakat. Selain itu perlunya peran ulama maupun tokoh agama Islam memberikan pendidikan syariat dan pendidikan moral agama Islam bagi seseorang yang membantu dalam mengurus syarat-syarat perkawinan agar tidak terjadi pemalsuan syarat-syarat perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya
Abdul Wahab Khalaf, 1994, Ilmu Usul Figh, Semarang, Dina Utama
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti
Achmad Kuzari, 1995, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Ahmad Azhar Basyir, 1990, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press
Ahmad Junaidi, 2000, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Modern, Jakarta, Ciputat Press
Ahmad Rofiq, 2000, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo
Ali, Mohammad Daud, 1997, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo
Departemen Agama RI, 1990, Ilmu Fiqih, Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi
---------------------------, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia : Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan. Bandung, Humanuiora Utama Press
Endang Sumiarni, 1992, Kedudukan Suami Isteri dalam Hukum Perkawinan, Yogyakarta, Bharata
Hartono Mardjono, 1997. Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Ke Indonesiaan, Bandung : Mizan
Harun Nasution, 1985, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta : UI Press
Hilman Hadiwikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju
Kaelany HD, 1997, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta : Intermasa
M. Yahya Harahap. 1990, Hukum Perkawinan Nasional, Medan, Zahi Trading
Muhammad Idris Ramulyo, 1995, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika
Muhammad Daud Ali, 1997, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
R. Wirjono Prodjodikoro, 1993, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Sumur Batu
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta
Salim HS, 2001, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika
Simorangkir, JCT., 1992, Kamus Hukum, Jakarta, Balai Pustaka
Soemiyati, 1992, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta. Liberty
Soerjono Soekanto, 1997, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press
Soetojo Prawirohamidjojo, 1996, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga Press
______________________, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya, Airlangga Press
Subekti, 2000, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa
Titik Triwulan Tutik, 2003, Poligami dalam Prespektif Perikatan Nikah, Cetakan Pertama, Jakarta, Prestasi Pustaka
Tim Disbintalad, 1995, Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Sari Agung
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Exploitasi Anak

 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak.  
Eksploitasi merupakan pemerasan, pengusahaan, pendayagunaan penarikan keuntungan secara tidak wajar. Eksploitasi anak adalah pemerasan atau penarikan keuntungan terhadap anak secara tidak wajar. Oleh karena itu anak sebagai individu harus dilindungi hak-haknya mempunyai ketentuan-ketentuan hak yang melekat padanya.  
 Banyak anak yatim, yatim piatu, keterlantaran, kekerasan, eksploitasi anak di bidang ekonomi dan bahkan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, sodomi dan masih banyak perlakuan salah lainnya yang menimpa pada anak-anak. Kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya mengalami masalah krisis ekonomi saja akan tetapi lebih buruk lagi mengalami masalah krisis moral. Tidak kalah menariknya adalah eksploitasi bayi dan anak-anak jalanan untuk kegiatan mengemis dilakukan orang dewasa yang menjadi pemandangan sehari-hari di banyak ruas jalan-jalan umum. Jumlah pengemis orang dewasa dengan cara menggendong bayi dan anak-anak dengan berdiri dibawah terik matahari maupun guyuran hujan tampak terus bertambah setiap hari.  
Terlepas dari motivasi para pengemis tersebut, eksploitasi bayi dan anak itu tidak bisa dibiarkan dan harus segera dilakukan langkah-langkah perlindungan dan hak-hak anak. Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) : “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28B ayat (2) bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi", maka dalam hal ini aparat pemerintah di daerah yang wajib memberikan perlindungan dan hak-hak bagi anak salah satunya dengan menyalurkan para pengemis ke pantai rehabilitasi sosial dan mencarikan bapak angkat bagi anak-anak agar dapat melanjutkan sekolah. 

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai kejahatan eksploitasi pada anak jalanan ?
2. Hal-hal apa saja yang menyebabkan terjadinya kejahatan eksploitasi pada anak jalanan dan bagaimana upaya penanggulanganya?

C. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis . 
2. Spesifikasi Penelitian 
Spesifikasi penulisan ini adalah deskriptif analitis , 
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
4. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penulisan ini kemudian di analisis secara kualitatif.
 
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Pidana di Indonesia
Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai : aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (definisi dari Mezger). Jadi yang dasarnya hukum Pidana berpokok kepada perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana. Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (Verbrechen atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larang itu.  
Istilah “Hukum Pidana” menurut Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut, antara lain bahwa Hukum Pidana, disebut juga “Ius Poenale” yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”.  
Hukum Pidana menurut Simons adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negera dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hokum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.  
Hukum pidana menurut Pompe adalah semua aturan-aturan hokum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu.  
Hukum Pidana adalah bagian keseluruhan hokum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :  
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (Rechtsiiterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva, misalnya masyarakat, negara dsb. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.
Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabla sanksi pidana itu benar-benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam peraturan hukum (Theorie des psychis chen Zwanges = ajaran paksaan psychis). 
B. Pidana dan Pemidanaan 
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime).
Tindak kejahatan yang semakin marak harus ditanggulangi dan penanggulangan ini bukan hanya tanggung jawab aparat saja akan tetapi masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menanggulangi tindak kejahatan. Masalah yang esensial untuk menekan tingginya angka kriminalitas adalah meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat. 
Perbuatan-perbuatan pidana, selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain :
1. Delik dolus dan delik culpa
2. Delik commissionis dan delikta commissionis
3. Delik biasa dan delik yang dikualifisir (dikhususkan)
4. Delik menerus dan tidak menerus
Pemidanaan ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam ilmu hukum terdapat beberapa teori mengenai pemidanaan yaitu :  
1. Teori absolut / pembalasan
2. Teori relatif atau teori tujuan
3. Teori Gabungan
C. Kejahatan terhadap Eksploitasi Anak
Pengertian eksploitasi anak (perdagangan anak) dalam Protocol adalah defenisi/batasan hukum. Karenanya, batasan/pengertian itu membawa dasar dan implikasi yuridis pula. Dalam pendekatan hukum pidana, batasan trafficking menurut Protocol merupakan elemen dari suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum (strafbaarfeit, unlawfull). Jadi, untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana, menurut ilmu hukum pidana harus dituangkan dalam Undang-undang, sehingga kerapkali hukum pidana dikenal sebagai hukum undang-undang. Di dalam Undang-undang tersebut, dirumuskan perbuatan yang dilarang, ataupun merumuskan unsur-unsurnya. Tanpa rumusan perbuatan yang dilarang, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana. Pendapat Enshcede yang dikutip oleh Schaffmeister “…, das Sr. enthalt weder Befehle noch Normen, sonder nur Deliktsumschreibungen – bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang menunjukkan fragmen-fragmen dari norma-norma yang dapat dipidana”.  
Oleh karena unsur yang dikandung dalam kejahatan trafficking in persons adalah perbuatan yang dilarang sebagaimana dalam Pasal 1 Protocol tersebut, maka agar dapat diterapkan dan mengikat subjek hukum, mestilah dilegalisasi dalam rumusan delik dalam Undang-undang. Hal yang sedemikian ini dikenal dengan asas legalitas dalam hukum pidana.
Tindak pidana eksploitasi anak (perdagangan anak) merupakan salah satu bentuk kejahatan baru sebagai bentuk lain dari perbudakan masa kini (modern slavery). Dalam perkembangannya, ternyata tindak pidana eksploitasi anak (perdagangan anak) ini semakin marak dan berkembang dengan pesat di seluruh dunia. Tindak pidana eksploitasi anak (perdagangan anak) ini tidak hanya menjadi perhatian pemerintah, namun juga NGO’s, masyarakat luas, penegak hukum, bahkan dunia internasional.  
D. Perlindungan Anak dalam Undang-Undang Peradilan Anak
Dalam hukum anak di Indonesia terdapat pluralisme kriteria mengenai anak. Hal ini disebabkan tiap-tiap peraturan perundangan mengatur secara tersendiri mengenai kriteria anak. Dalam sistem hukum perundang-undangan kita belum ada unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi terkodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Dari aspek hukum pidana, dasar hukum untuk menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak yang tercantum dalam pasal-pasal sebagai berikut :
1. Pasal 1 ayat (1) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
2. Pasal 4 ayat (1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
3. Pasal 4 ayat (2) : Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 tahun tetap diajukan ke Sidang Anak
E. Perspektif Hukum Islam Mengenai Tindak Pidana Kejahatan Eksploitasi Anak
Fenomena eksploitasi anak di bawah umur oleh orang dewasa untuk keperluan mendapatkan uang. 'Terlepas dari motivasi para pengemis itu, eksploitasi bayi dan anak itu tidak bisa dibiarkan dan harus segera dilakukan langkah-langkah perlindungan dan hak-hak anak," ucapnya. Sementara itu tidak terlihat langkah dan tindakan dari aparat terkait seperti upaya penertiban, kendati pada lokasi-lokasi yang dijadikan tempat mengemis dengan eksploitasi anak itu terdapat plang pengumuman dilarang memberi uang. Sebagaimana amanat UU Dasar 1945 bahwa "setiap warga negara Indonesia berhak mendapat penghidupan layak", maka dalam hal ini aparat pemerintah di daerah yang wajib memberikan perlindungan dan hak-hak bagi anak.
Dalam perspektif hukum, aparat Pemda yang terkesan tidak peduli dapat dilakukan gugatan "class action" yaitu penuntutan secara kolektif melalui jalur hukum dan ke Pengadilan Negeri. Penuntutan tersebut dapat dilakukan oleh setiap masyarakat Kalsel atau yang mewakili seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atas dasar Pemda tidak dapat mengayomi rakyatnya sesuai UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi bagi bangsa Indonesia. 
Oleh karena itu dalam Islam diberikan tuntutan untuk memberikan perlindungan anak. Sebagaimana Rasulullan menganjurkan untuk mendahulukan kepentingan anak dalam hal apapun. Bahkan Rasulullah menjamin orang tua yang sanggup mengorbankan segala untuk mengurus dan mendidik anak.
“Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang dari siksa neraka” (HR Buchari Muslim dan al-Turmudzi)  
Oleh karena itu anak merupakan suatu anugerah agar kita berbuat adil dan selalu sabar dalam menghadapi segala hal cobaan di dunia. Sebagaimana firman Allah Surat An Nahl 90
 
Artinya : 
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Ayat tersebut mencakup tiga sumber kebaikan dan tiga sumber kerusakan. Tiga sumber kebaikan adalah keadilan, ihsan dan menghubungkan persaudaraan. Sedangkan tiga sumber kerusakan adalah kejahatan yaitu keji, mungkar dan zalim, termasuk kejahatan terhadap anak.


 
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi masyarakat mengenai kejahatan eksploitasi pada anak jalanan  
Pemandangan anak-anak jalanan di kota besar sudah tidak asing lagi, dimana di keseharian mereka selalu berada dijalanan dan berbaur dengan kerasnya kehidupan jalanan. Pemandangan yang sudah sangat biasa dimana mereka berhamburan menghampiri para pengendara yang berhenti pada saat lampu merah, hal itu tidak lain untuk meminta belas kasihan dari orang-orang yang sedang melintas tersebut. 
Suatu pemandangan yang sebenarnya boleh dikatakan unik, dimana ketika anak-anak tersebut menjulurkan tangan sambil mengelus elus perut sebuah isyarat yang menandakan mereka sedang lapar. Ada juga kegiatan anak jalanan yang seolah olah menjual jasanya kepada pengguna jalan yaitu membersihkan atau mengelap kaca mobil bagi mereka pengendara mobil.  
Jumlah dan kondisi anak jalanan di Indonesia sangat memprihatinkan dimana jumlah mereka sudah sangat tidak sedikit dan membuat resah sebagian orang. Seperti di lansir Kompas Edisi 20 Januari 2010, jumlah anak jalanan meningkat 50 persen, dimana pada tahun 2008 sebelumnya anak jalanan tersebut masih berjumlah 8000 orang, namun pada tahun 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 orang. 
Lebih mengejutkan survey tersebut hanya masih pada wilayah DKI Jakarta saja. Sungguh angka yang sangat fantastis bukan? Mengapa tidak jumlah penduduk 12.000 jiwa sudah setara dengan jumlah penduduk pada satu atau lebih Desa atau kelurahan. Survey lain mengatakan jumlah anak jalanan di puluhan kota besar di Indonesia mencapai 300.000 orang atau dapat disetarakan dengan jumlah penduduk dilebih dari satu kecamatan.
Konsep dan pola kehidupan anak jalanan ini juga berbeda beda, namun jelasnya mempunyai satu tujuan yang sama yaitu untuk kegiatan ekonomi. Ada anak jalanan yang masih hidup bersama orang tuanya atau masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya dan anggota keluarganya. Biasanya anak seperti ini adalah anak yang di manfaatkan orang tuanya untuk membantu mencari nafkah demi untuk menyambung hidup. Setelah tiba waktunya anak ini akan pulang kerumah, memberi penghasilannya dan kembali berbaur dengan keluarganya. Namun ada juga anak jalanan yang hidupnya dihabiskan di jalanan, mencari nafkah dijalanan, hidup sendiri atau memilih tidak hidup dengan keluarganya dan bahkan sampai makan dan tidur sekalipun dia dijalanan. Kerasnya hidup dan tekanan kebutuhan membuat mereka semakin terpuruk dan tidak berdaya.  
Dampak yang sangat mengkhawatirkan bilamana anak-anak jalanan tersebut dibiarkan mengemis, meminta belas kasihan dari orang secara terus menerus, maka kelak anak-anak tersebut akan menjadi sampah masyarakat. Sampah yang tidak diperhitungkan akan tetapi di takuti sebagai momok yang ganas dan buas. Mereka ditakuti karena bawaan dan tingkahlaku mereka yang tidak wajar. 
Anak jalanan membuat berita lagi. Beberapa waktu lalu kelompok ini dikaitkan dengan bahaya AIDS, jauh sebelumnya coba dihubungkan pula dengan kemiskinan yang melahirkan premis; Keluarga miskin melahirkan anak jalanan, tetapi tidak semua anak jalanan berasal dari keluarga miskin.  
Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak-anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia. Terkait dengan ini adalah penyebabnya virus HIV, karena sodomi dan pelacuran merupakan perilaku yang beresiko tinggi untuk penyebaran HIV. Jika merunut pada kondisi anak jalanan di negara lain, bukan hal yang mustahil akan terjadi pula di sini karena kondisinya yang tidak jauh berbeda Ada tiga karakteristik anak-anak jalanan. Pertama adalah anak-anak yang hidupdi jalanan. Kedua, anak-anak yang bekerja di jalanan, dan ketiga anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan. Faktor-faktor yang membedakan karakteristik tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini 

 
Tabel Perbedaan Karaktersitik Anak Jalanan
Faktor Pembeda Hidup 
di jalanan Bekerja 
di jalanan Rentan menjadi anak jalanan
Lama di jalanan 24 jam 7 – 12 jam 4 – 6 jam
Hubungan dengan keluarga Putus
Hubungan
 Tidak teratur pulang ke rumah Masih tinggal dengan orang tua
Tempat tinggal Di jalanan Mengontrak (bersama-sama) Bersama keluarga
Pendidikan Tidak sekolah Tidak sekolah Masih sekolah

Tabel di atas memperlihatkan bahwa anak yang hidup di jalanan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya dibandingkan kelompok lain. Kelompok anak yang bekerja di jalanan relatif lebih aman karena umumnya mereka tinggal berkelompok dan sebagian bersama orang tua dan warga sekampungnya di daerah kumuh di kota –kota. Mereka bisa saling mengontrol satu sama lainnya. Namun karena kebersamaan ini pula, gampang sekali tergerak pada perilaku negatif seperti pencurian, judi, seks dll. Perilaku itu sebagian menjadi kebiasaan mereka sebagai refreshing, Sudah menjadi kebiasaan mereka, uang mudah di dapat di jalan jika habis di meja judi. 
Anak jalanan, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak jalanan. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta menjadi kering tak menarik.  
Anak jalanan adalah anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu, mereka perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan luar sekolah 
Eksploitasi terhadap anak-anak dapat ditilik melalui perspektif relasi kuasa (power relationship) yang melingkupi kehidupan anak-anak. Anak dalam konteks ini menghadapi 3 (tiga) pihak yang berpotensi melakukan eksploitasi baik secara langsung atau tidak. Ketiga pihak tersebut adalah (i) orang tua; (ii) masyarakat setempat (community), ; dan (iii) perusahaan  
Secara sosiologis setiap manusia, termasuk anak-anak membutuhkan ruang hidup baik pada lingkungan terdekat yakni keluarga, kemudian masyarakat setempat, lebih luas lagi negara, bahkan masyarakat internasional. Kemiskinan orang tua/keluarga dan masyarakat setempat sesunguhnya tidak bisa menjadi alasan pembenar bagi orang tua/keluarga dan masyarakat untuk melakukan tindakan eksploitatif. Namun apabila menilik proses pemiskinan yang sistematis dan terstruktur yang menjadi penyebab mereka miskin seperti penggusuran rumah dan usaha non formal masyarakat miskin, maka orang tua/keluarga dan masyarakat setempat yang terkungkung kemiskinan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Orang tua/keluarga miskin dengan kekuasaan sebagai orang tua/dewasa akan menggunakan kekuasaanya ketika menjalin relasi dengan anaknya. Anak tentu tidak bisa menolak. Relasi seperti ini kemudian mendapatkan pembenaran oleh masyarakat setempat yang secara kultur yang menoleransi eksploitasi karena alasan ekonomis. Dalam titik ini, negara lah yang patut didakwa sebagai pelaku eksploitasi karena melakukan pemiskinan dan membiarkan anak-anak dalam situasi yang potensial mengeksplotasi mereka. Padahal Konvensi Hak Anak (KHA) mewajibkan negara untuk melakuan tindakan khusus kepada anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi seperti kasus di atas. Pasal 32 KHA tegas-tegas menyatakan Pasal 32 bahwa negara akan melindungi anak dari eksploitasi ekonomi dan melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya. 
persepsi (budaya) dan sikap masyarakat terhadap eksploitasi anak : 
1. Pandangan dan sikap masyarakat yang berusaha memahami masalah eksploitasi anak, untuk mencari jalan untuk pemecahan masalah dan penanggulangannya. Yang berpandangan dan bersikap demikian adalah anggota masyarakat dari berbagai golongan yang menyadari betapa kompleknya masalah eksploitasi anak tersebut, yang tidak saja menyangkut aspek-aspek sosial, ekonomi dan kultural yang menyebabkan gejala sosial kejahatan eksploitasi anak 
2. Pandangan dan sikap masyarakat yang apriori mengutuk eksploitasi anak, yang dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kaidah agama. Yang berpandangan demikian adalah mereka yang semata-mata hanya berpegang pada kaidah agama tanpa memperdulikan aspek dan faktor-faktor lain yang melingkupi kehidupan manusia. 
3. Pandangan dan sikap masa bodoh atau tidak acuh terhadap gejala sosial yang dinamakan eksploitasi anak. Pandangan yang demikian ini menyebabkan yang bersangkutan tidak merisaukan tentang eksploitasi anak, terserah mereka masing-masing yang terlibat di dalamnya.
6. Fenomena eksploitasi anak di bawah umur oleh orang dewasa untuk keperluan mendapatkan uang. 'Terlepas dari motivasi para pengemis itu, eksploitasi bayi dan anak itu tidak bisa dibiarkan dan harus segera dilakukan langkah-langkah perlindungan dan hak-hak anak," ucapnya. Sementara itu tidak terlihat langkah dan tindakan dari aparat terkait seperti upaya penertiban, kendati pada lokasi-lokasi yang dijadikan tempat mengemis dengan eksploitasi anak itu terdapat plang pengumuman dilarang memberi uang. Sebagaimana amanat UU Dasar 1945 bahwa "setiap warga negara Indonesia berhak mendapat penghidupan layak", maka dalam hal ini aparat pemerintah di daerah yang wajib memberikan perlindungan dan hak-hak bagi anak.  
B. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan eksploitasi pada anak jalanan dan upaya penanggulanganya
1. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan eksploitasi pada anak jalanan 
Anak jalanan biasanya terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat marginal dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebanyakan anak-anak tersebut terpaksa turun ke jalan karena kemiskinan yang diderita orang tuanya, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Di samping karena kemiskinan, banyak juga karena korban trafficking, terpisah dengan orang tuanya karena konflik bersenjata, kerusuhan, bencana, orang tuanya dipenjara, orang tuanya meninggal. Anak semestinya bersekolah dan bermain terpaksa bekerja. Banyak yang kemudian menjadi pengemis, pengamen, pengelap mobil (dengan paksa) atau menjual Koran di lampu-lampu bangjo. Kondisi jalanan yang keras menyebabkan sikap anak cenderung tidak bernorma, seenaknya sendiri, suka berbohong, mencuri, suka merokok, mabuk-mabukkan, ngelim, tidak mengenal sopan santun dan seks bebas serta narkoba.
Faktor yang menyebabkan kajahatan eksploitasi anak adalah : 
a. Faktor yang berhubungan dengan keluarga, seperti lari dari keluarga karena adanya kekerasan dalam rumah tangga, dipaksa bekerja, kemiskinan keluarga.
Seorang anak yang terhempas dari keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan oleh banyak hal. Penganiayaan kepada anak merupakan penyebab utama anak menjadi anak jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka. Lain daripada itu, pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah
b. Faktor budaya masyarakat yang mengajarkan anak untuk bekerja sehingga menjadi keharusan anak untuk meninggalkan sekolah untuk mencari pekerjaan 
Keadaan kota mengundang maraknya anak jalanan. Kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga bermasalah membuat anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh keluarga, teman, orang lain lebih dewasa.
c. Faktor lingkungan, yaitu tidak adanya tempat untuk bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya, sehingga menyebabkan anak hidup dijalanan dan menimbulkan kejahatan eksploitasi anak. Di antara anak-anak jalanan, sebagian ada yang sering berpindah antar kota. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. 

2. Upaya penanggulanganya
Kesulitan aparat Pemda dalam mengatasi persoalan sosial tersebut, dan keterbatasan lapangan pekerjaan merupakan faktor penyebab utama, selain faktor sikap mental masyarakat yang ingin cepat menghasilkan uang. Namun upaya jangka pendek yang dapat dilakukan dengan menyalurkan para pengemis ke pantai rehabilitasi sosial dan mencarikan bapak angkat bagi anak-anak agar dapat melanjutkan sekolah. 
Yayasan Gradhika Semarang adalah salah satu LSM yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan. Jumlah anak jalanan yang telah dibina Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) sejak awal tahun 2008 kegiatan sampai saat ini sudah sekitar 1.135 anak, dari jumlah tersebut 70 % anak yang dibina sudah meninggalkan pekerjaan jalanan.  
Minimnya dana yang tersedia menjadi kendala utama dalam upaya pengentasan anak jalanan. Pada tahun 2009, anak jalanan di kantor binaan Gratama yang berhasil di data berjumlah 183 anak yaitu 153 anak berasal; dari Kota Semarang dan 30 anak berasal dari luar kota Semarang. Dari jumlah itu, 87 anak masih sekolah dan 96 anak tidak sekolah. Oleh karena itu bantuan dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah sangat diharapkan untuk membina anak jalanan tersebut. Anak yang dieksploitasi menurut data dari Kantor Binaan sekitar 56 anak jalanan. dieksploitasi sebagai pengamen, pengemis, pengelap mobil.
Pada RPSA Gratama proses awal dari perekrutan anak jalanan di Kota Semarang hingga terminasi (penanganan pasca binaan ) dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Pendekatan Awal
a. Penerimaan
Pada tahap penerimaan ini RPSA Gratama :
1) Menjangkau sendiri anak dari kantong-kantong binaan
2) Menerima rujukan dari Satpol PP, Kepolisian yang melakukan yustisi terhadap anak jalanan di kantong-kantong anak jalanan.
3) Menerima rujukan anak jalanan dari masyarakat
b. Registrasi : merupakan pendataan dan pengarahan awal terhadap anak jalanan.
c. Identifikasi awal merupakan identifikasi terhadap permasalahan anak untuk menentukan langkah penggunaan awal yang paling tepat bagi anak.
2. Pertolongan Pertama
Pada tahap ini pekerja social memberikan pertolongan pertama terhadap anak jalanan yang sifatnya segera untuk dipenuhi, misalnya menyehatkan psikologis anak yang trauma akibat ancaman atau tekanan terhadap anak dari pihak lain.
3. Assesmen
Merupakan penelaahan dan pengungkapan permasalahan setiap anak yang kemudian dicatat dalam file identifikasi. Hal ini dilakukan guna menentukan solusi yang tepat untuk membantu anak dalam memecahkan permasalahannya. Kegiatan ini mencakup :
a. Identifikasi masalah merupakan pengungkapan permasalahan anak mengenai latar belakang yang menyebabkan anak turun ke jalan.
b. Identifikasi potensi : menggali dan mengungkapkan potensi yang ada pada diri anak yang dapat dikembangkan untuk masa depannya
c. Identifikasi kebutuhan yaitu mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan anak untuk memecahkan permasalahnnya agar dapat tumbuh, berkembang secara wajar.
4. Rencana Intervensi merupakan kegiatan untuk merencanakan bentuk penanganan masalah yang tepat untuk anak berdasarkan hasil assessment. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam rencana intervensi adalah :
a. Hasil assessment dan deskripsi
b. Menghitung berbagai sumber daya
c. Menghitung sumber daya manusia yang dibutuhkan dan kualifikasi yang diperlukan
d. Merencanakan berbabagai kegiatan yang akan dilakukan
e. Menetapkan tujuan hasil-hasil kegiatan
f. Membagi tugas kepada profesi lain sebagai Tim
g. Menyusun jadwal kegiatan
h. Melakukan induksi peranan pada anak mengenai tugas-tugas yang harus dilakukan anak di RSPA dan dalam rangka intervensi
5. Pelaksanaan Intervensi
Merupakan pelaksanaan kegiatan dalam pembinaan anak. Dalam pelaksanaan intervensi ini jenis pelayanan yang disediakan adalah :
a. Tutorial, yaitu ceramah dan pengarahan dari berbagai lembaga yang berkompeten terhadap anak, baik instansi pemerintah. LSM-LSM dan lembaga swasta lain.
b. Pemberian beasiswa, yaitu bagian anak jalanan yang sekolah
c. Pelatihan keterampilan dan pembentukan KUEB, yaitu penyelenggaraan pelatihan ketrampilan untuk anak jalanan yang sudah tidak bersekolah dan tidak dalam usia sekolah. Dalam hal ini yayasan bekerja sama dengan LPK.
d. Pendampingan, bimbingan dan pemberdayaan orang tua anak jalanan, yaitu pembinaan terhadap orang tua anak jalanan yang mencakup bimbingan pengasuhan anak, bimbingan mendidik anak dan bimbingan pemberdayaan ekonomi. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat mandiri dalam mengasuh, mendidik dan membiayai anaknya, sehingga tidak membebani pemerintah ataupun orang lain lagi.
e. Khusus anak yang tidak memiliki pengasuh
1) Penyediaan kebutuhan dasar seperti tempat berlindung/tinggal, makan, pakaian, perawatan pribadi, pendidikan dan pengobatan.
2) Pelayanan asuhan dan pendampingan oleh pekerja social
3) Pelayanan rehabilitative dan trauma meliputi
a) Pelayanan psikososial dan konseling oleh peksos dan psikolog
b) Terapi untuk penembuhan trauma oleh psikiater, peksos, terapis dan ahli agama
6. Evaluasi
Merupakan proses peninjauan ulang pada akhir setiap tahapan sebagai mekanisme timbal balik kepada tim dan anak mengenai kemajuan yang dicapai anak.
 
7. Terminasi
Merupakan tahapan akhir pelayanan atau pengakhiran interpevensi terhadap anak melalui RPSA, namun hubungan komunikasi dengan RPSA masih tetap ada. Terminasi ini berupa penanganan pasca bina. Ada berbagai alternative penanganan anak pasca bina RPSA supaya dapat dipastikan anak tidak kembali ke jalan, di antaranya :
a. Anak mendirikan usaha mandiri (wira swasta)
b. Anak dikembalikan pada orang tua setelah ortu punya penghasilan
c. Anak disalurkan bekerja pada Dunia Usaha / Dunia Industri 
d. Anak dicarikan keluarga pengganti (orang tua asuh)
Upaya lain dalam program pembinaan anak jalanan tahun 2010 adalah menghilangkan daya tarik jalanan pada benak anak dan orang tua, dengan melakukan pengarahan terhadap anak jalanan dan orang tuanya, pihak Rumah Perlindungan Sosial Anak bekerja sama dengan pihak Kepolisian. Kemudian Rumah Perlindungan Sosial Anak mengadakan sosialisasi berupa penyadaran kepada masyarakat, orang tua anak jalanan dan anak jalanan itu sendiri.
Menurut Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial dikeluarkannya kebijakan Rumah Perlindungan Sosial Anak digunakan untuk menyelematkan dan melindungi anak agar dapat tumbuh kembang secara wajar sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang produktif.  
Pemberian pendidikan, yaitu memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan. Pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu : anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM. 
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy). 
Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri. Materi pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.
Usaha pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang seharusnya tidak dibatasi dalam lingkup yang terbatas yaitu hanya difokuskan pada para anak jalanan. Tetapi usaha tersebut harus diproyeksikan untuk sasaran yang lebih luas lagi yaitu mencakup juga masyarakat umum, sehingga masyarakat akan mampu dengan sendirinya untuk memproteksi diri dari akibat negatif anak jalanan .
 
PENUTUP
A. Kesimpulan 
1. Persepsi masyarakat mengenai kejahatan eksploitasi pada anak jalanan yaitu sikap masyarakat yang berusaha memahami masalah eksploitasi anak, untuk mencari jalan untuk pemecahan masalah dan penanggulangannya. Sikap masyarakat yang apriori mengutuk eksploitasi anak, yang dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kaidah agama. Serta sikap masa bodoh atau tidak acuh terhadap gejala sosial yang dinamakan eksploitasi anak. 
2. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan eksploitasi pada anak jalanan adalah faktor yang berhubungan dengan keluarga, faktor budaya masyarakat yang mengajarkan anak untuk bekerja sehingga menjadi keharusan anak untuk meninggalkan sekolah untuk mencari pekerjaan dan faktor lingkungan, yaitu tidak adanya tempat untuk bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya, sehingga menyebabkan anak hidup dijalanan dan menimbulkan kejahatan eksploitasi anak. 
Adapun upaya penanggulanganya melakukan program pembinaan atau rehabilitasi anak jalanan tahun 2010 adalah berupa pembinaan mental, sikap, bantuan beasiswa, pelatihan ketrampilan, pengasuhan dan pembentukan rintisan usaha. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pengembangan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Unit-unit kecil diharapkan dapat menghidupi anak jalanan menjadi bagian secara kolektif dari ekonomi nasional yang berbasis kecil dan kerakyatan. Pembentukan karakter anak jalanan dilakukan Rumah Perlindungan Sosial Anak dengan kerja sama berbagai pihak, untuk melindungi anak jalanan dari narkoba Rumah Perlindungan Sosial Anak bekerja sama dengan Gerakan Anti Narkoba (Granat), masalah kesehatan, HIV / AIDS bekerja sama dengan ASA PKBI Jawa Tengah serta bekerja sama dengan Puskesmas-puskesmas. Sedangkan instansi pemerintah yang terlibat dalam pembinaan anak jalanan adalah Dinas Sosial, Pemerintah Kota Semarang, Departemen Agama, Dinas Pendidikan, Poltabes, Departemen Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kemudian untuk masalah pengembangan kewirausahaan dan akses pemasaran akan bekerja sama dengan Perguruan Tinggi dan Koperasi.
B. Saran
Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) merupakan respon terhadap meningkatnya jumlah anak jalanan yang digunakan untuk memberikan perlindungan anak jalanan agar hidup, tumbuh dan berkembang. Agar masyarakat dapat menerima kembali para anak jalanan, perlunya penyuluhan, pendidikan moral bahwa para anak jalanan yang benar-benar sadar akan kesalahan selama ini menginginkan hidup layak di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu kepada pemerintah yang harus dibenahi sebelum mengurusi masalah anak jalanan adalah harus terlebih dahulu memperbaiki perekonomian bangsa ini. Bilamana perekonomian kita sudah lebih baik, maka fenomena anak jalanan tersebut lama kelamaan akan berangsur-angsur hilang. 


Senin, 26 April 2010

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Syarat-Syarat Perkawinan Dilihat Dari Aspek Hukum Islam.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagian dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilaman dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa :  
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaantidak mampu menyatakan kehendaknya,maka izin dimaksud ayat (2) pasa ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memerikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”

Secara realita, perkawinan adalah bertemunya dua makhluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan. Sedang tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mempunyai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat, atau dengan lain kata perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Seiring dengan tujuan tersebut, maka dapat diartikan bahwa agar perkawinan menjadi kekal abadi sehingga tidak putus begitu saja. Pondasi membentuk dan membina kelangsungan keluarga demikian itu adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang suami dan seorang istri. 
Hukum mengharapkan itu semua terwujud apabila dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku. Agar sebuah perkawinan berjalan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, tanpa adanya hambatan-hambatan yang akan ditemui di tengah perjalanan perkawinan pasangan suami istri maka pada saat dilangsungkan perkawinan, calon suami dan calon istri harus memenuhi berbagai macam persyaratan perkawinan. 
Salah satu syarat perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah :  
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Penetapan batas-batas umur untuk sebuah perkawinan dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunannya. Untuk itu seorang calon suami dan calon istri harus dapat menunjukkan kebenaran umur pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun maka harus mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebuah perkawinan yang sempat menarik perhatian sejumlah pihak adalah perkawinan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto (berusia 43 tahun), warga Desa Bedono, Kecamatan Jambu, dengan Lutfiana Ulfa, seorang anak yang masih berusia di bawah umur (berusia 12 tahun) pada 8 Agustus 2008 secara agama sebagai istri kedua. Pernikahan Syekh Puji dengan istri keduanya (walau hanya secara agama) telah memunculkan pro dan kontra masyarakat. Sebagian pihak menilai bahwa pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dan memenuhi syarat-syarat pernikahan, sah menurut hukum Islam. Namun, di pihak lain Syekh Puji dianggap telah melanggar hukum positif Undang-Undang Perkawinan yang mengatur batas usia menikah untuk anak perempuan adalah 16 tahun. 
Di Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu misalnya, di daerah tersebut perempuan rata-rata menikah pada usia 14-15 tahun, sedangkan laki-laki berusia 17-20 tahun. Untuk menutupi status usia yang masih di bawah umur, tidak jarang dari mereka yang memalsukan usia. Di tempat lain seperti di Desa Leggung Barat, Kabupaten Sumenep, menikahkan anak usia dini untuk perempuan 13 tahun, lulus SD dan laki-laki 15 tahun atau usia SMP merupakan hal wajar. Pernikahan usia muda serta pernikahan di bawah umur sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur agar beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Atau bahkan dengan pernikahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan derajat ekonomi keluarga. Ada pula yang menikahkan anak perempuannya yang dibawah umur karena alasan tradisi.
Nikah atau perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Untuk itu agar hubungan menjadi legal, syarat-syarat yang ditetapkan dalam pernikahan harus dipenuhi. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Illahi. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan :  
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek, yaitu :
(1) Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir batin”, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu.
(2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya “membentuk keluarga” dan berdasarkan “Ketuhanan Yang maha Esa”, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.
Sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh karena suatu perikatan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing, yang mana dalam Islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhinya syarat dan rukunnya.


B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dimaksudkan agar pembahasan yang nantinya akan dilakukan tidak menyimpang terlalu jauh dari masalah yang akan diungkapkan. Hal tersebut dimaksudkan agar penelitian tersebut nantinya dapat dipahami dan dimengerti.
Berdasarkan alasan pemilihan judul di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang meliputi :
 
1. Bagaimana seseorang dinyatakan memalsukan syarat-syarat perkawinan ?
2. Bagaimana tindakan yang diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan menurut KHI ?
3. Bagaimana akibat hukum bagi pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan dilihat dari aspek Hukum Islam ?

“Tinjauan Yuridis Terhadap Illegal Logging di Sampit, Kalimanten Tengah”


Pembangunan selalu membawa dampak terhadap perubahan lingkungan. Segala variasi yang ditempuh dalam wujud apa pun dalam pembangunan, akan berarti pula menuntut perubahan lingkungan. Semakin meningkat upaya pembangunan maka akan makin meningkat pula dampaknya terhadap lingkungan hidup. Kondisi ini mendorong upaya pengendalian dampak lingkungan idup untuk meminimalisasi resiko yang dapat ditimbulkan oleh dampak perubahan lingkungan.
Ide dan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup pertama kali muncul pada tahun 1950-an ketika terjadi pencemaran lingkungan terutama di negara-negara maju yang disebabkan oleh limbah industry, pertambangan dan pestisida yang kemudian mendorong lahirnya konferensi Stockholm pada tahun 1972, sehingga pada waktu itu masalah lingkungan menjadi masalah internasional (Sumarwoto, 1992:2). Kemudian tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup yang merupakan tanggal pelaksanaan Konferensi Stockholm yaitu tanggal 5-16 Juni 1972.
Pasca Konferensi Stockholm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penanggulangan masalah lingkunganm dan bahkan permasalahan lingkungan semakin parah pada waktu itu, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commision on Environment and Development (WCED) pada bulan Desember 1983. Komisi ini bertugas untuk menyusun rekomendasi tentang strategi jangka panjang konsep pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Laporan ini dikenal dengan laporan Brundtland. (Harjasumantri, 1999 : 12)
Konsep pembangunan berkelanjutan dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup kemudian diadopsi ke dalam konsep pengelolaan lingkungan di Indonesia yang dikenal dengan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Konferensi Stockholm kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah Republik Indonesia dengan mengangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), merumuskan konsep Pembangunan lanjutan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) (Harjasumantri, 1999 : 47)
Dalam konsiderans huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dirumuskan :
“Bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.”

Pemananfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan dalam perkembangannya menjadi salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan lingkungan hidup dan menjadi sorotan bukan hanya secara nasional akan tetapi telah menjadi wacana global. Perhatian dunia internasional terhadap kelestarian hutan nampak dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Jeneiro pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. (Harjasumantri, 1999 : 19)
Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkungan hidup pada sektor kehutanan ini adalah masalah penebangan liar (illegal logging). Penebangan liar (illegal logging) adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia. Hal ini menjadi perhatian Uni Eropa dalam sepuluh tahun terakhir dan akhirnya memberikan bantuan dalam rangka pencegahan kerusahakan hutan tersebut (Kompas : 2003, 1) 
Penebangan liar (illegal logging) telah menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, social, budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang didalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial (Iskandar, 2000:165).
 
B. PEMBATASAN MASALAH 
Adapun dalam penelitian ini permasalahan hanya dibatasi pada ketentuan-ketentuan hukum pidana dalam kasus tindak pidana Illegal Logging yang terjadi di Sampit Kalimantan Tengah.

C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimana ketentuan-ketentuan hukum pidana dalam kasus tindak pidana Illegal Logging ?
2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana Illegal Logging ?