Senin, 26 April 2010

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Syarat-Syarat Perkawinan Dilihat Dari Aspek Hukum Islam.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagian dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilaman dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa :  
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaantidak mampu menyatakan kehendaknya,maka izin dimaksud ayat (2) pasa ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memerikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”

Secara realita, perkawinan adalah bertemunya dua makhluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan. Sedang tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mempunyai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat, atau dengan lain kata perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Seiring dengan tujuan tersebut, maka dapat diartikan bahwa agar perkawinan menjadi kekal abadi sehingga tidak putus begitu saja. Pondasi membentuk dan membina kelangsungan keluarga demikian itu adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang suami dan seorang istri. 
Hukum mengharapkan itu semua terwujud apabila dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku. Agar sebuah perkawinan berjalan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, tanpa adanya hambatan-hambatan yang akan ditemui di tengah perjalanan perkawinan pasangan suami istri maka pada saat dilangsungkan perkawinan, calon suami dan calon istri harus memenuhi berbagai macam persyaratan perkawinan. 
Salah satu syarat perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah :  
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Penetapan batas-batas umur untuk sebuah perkawinan dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunannya. Untuk itu seorang calon suami dan calon istri harus dapat menunjukkan kebenaran umur pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun maka harus mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebuah perkawinan yang sempat menarik perhatian sejumlah pihak adalah perkawinan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto (berusia 43 tahun), warga Desa Bedono, Kecamatan Jambu, dengan Lutfiana Ulfa, seorang anak yang masih berusia di bawah umur (berusia 12 tahun) pada 8 Agustus 2008 secara agama sebagai istri kedua. Pernikahan Syekh Puji dengan istri keduanya (walau hanya secara agama) telah memunculkan pro dan kontra masyarakat. Sebagian pihak menilai bahwa pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dan memenuhi syarat-syarat pernikahan, sah menurut hukum Islam. Namun, di pihak lain Syekh Puji dianggap telah melanggar hukum positif Undang-Undang Perkawinan yang mengatur batas usia menikah untuk anak perempuan adalah 16 tahun. 
Di Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu misalnya, di daerah tersebut perempuan rata-rata menikah pada usia 14-15 tahun, sedangkan laki-laki berusia 17-20 tahun. Untuk menutupi status usia yang masih di bawah umur, tidak jarang dari mereka yang memalsukan usia. Di tempat lain seperti di Desa Leggung Barat, Kabupaten Sumenep, menikahkan anak usia dini untuk perempuan 13 tahun, lulus SD dan laki-laki 15 tahun atau usia SMP merupakan hal wajar. Pernikahan usia muda serta pernikahan di bawah umur sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur agar beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Atau bahkan dengan pernikahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan derajat ekonomi keluarga. Ada pula yang menikahkan anak perempuannya yang dibawah umur karena alasan tradisi.
Nikah atau perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Untuk itu agar hubungan menjadi legal, syarat-syarat yang ditetapkan dalam pernikahan harus dipenuhi. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Illahi. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan :  
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek, yaitu :
(1) Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir batin”, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu.
(2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya “membentuk keluarga” dan berdasarkan “Ketuhanan Yang maha Esa”, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.
Sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh karena suatu perikatan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing, yang mana dalam Islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhinya syarat dan rukunnya.


B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dimaksudkan agar pembahasan yang nantinya akan dilakukan tidak menyimpang terlalu jauh dari masalah yang akan diungkapkan. Hal tersebut dimaksudkan agar penelitian tersebut nantinya dapat dipahami dan dimengerti.
Berdasarkan alasan pemilihan judul di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang meliputi :
 
1. Bagaimana seseorang dinyatakan memalsukan syarat-syarat perkawinan ?
2. Bagaimana tindakan yang diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan menurut KHI ?
3. Bagaimana akibat hukum bagi pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan dilihat dari aspek Hukum Islam ?

“Tinjauan Yuridis Terhadap Illegal Logging di Sampit, Kalimanten Tengah”


Pembangunan selalu membawa dampak terhadap perubahan lingkungan. Segala variasi yang ditempuh dalam wujud apa pun dalam pembangunan, akan berarti pula menuntut perubahan lingkungan. Semakin meningkat upaya pembangunan maka akan makin meningkat pula dampaknya terhadap lingkungan hidup. Kondisi ini mendorong upaya pengendalian dampak lingkungan idup untuk meminimalisasi resiko yang dapat ditimbulkan oleh dampak perubahan lingkungan.
Ide dan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup pertama kali muncul pada tahun 1950-an ketika terjadi pencemaran lingkungan terutama di negara-negara maju yang disebabkan oleh limbah industry, pertambangan dan pestisida yang kemudian mendorong lahirnya konferensi Stockholm pada tahun 1972, sehingga pada waktu itu masalah lingkungan menjadi masalah internasional (Sumarwoto, 1992:2). Kemudian tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup yang merupakan tanggal pelaksanaan Konferensi Stockholm yaitu tanggal 5-16 Juni 1972.
Pasca Konferensi Stockholm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penanggulangan masalah lingkunganm dan bahkan permasalahan lingkungan semakin parah pada waktu itu, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commision on Environment and Development (WCED) pada bulan Desember 1983. Komisi ini bertugas untuk menyusun rekomendasi tentang strategi jangka panjang konsep pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Laporan ini dikenal dengan laporan Brundtland. (Harjasumantri, 1999 : 12)
Konsep pembangunan berkelanjutan dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup kemudian diadopsi ke dalam konsep pengelolaan lingkungan di Indonesia yang dikenal dengan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Konferensi Stockholm kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah Republik Indonesia dengan mengangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), merumuskan konsep Pembangunan lanjutan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) (Harjasumantri, 1999 : 47)
Dalam konsiderans huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dirumuskan :
“Bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.”

Pemananfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan dalam perkembangannya menjadi salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan lingkungan hidup dan menjadi sorotan bukan hanya secara nasional akan tetapi telah menjadi wacana global. Perhatian dunia internasional terhadap kelestarian hutan nampak dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Jeneiro pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. (Harjasumantri, 1999 : 19)
Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkungan hidup pada sektor kehutanan ini adalah masalah penebangan liar (illegal logging). Penebangan liar (illegal logging) adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia. Hal ini menjadi perhatian Uni Eropa dalam sepuluh tahun terakhir dan akhirnya memberikan bantuan dalam rangka pencegahan kerusahakan hutan tersebut (Kompas : 2003, 1) 
Penebangan liar (illegal logging) telah menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, social, budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang didalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial (Iskandar, 2000:165).
 
B. PEMBATASAN MASALAH 
Adapun dalam penelitian ini permasalahan hanya dibatasi pada ketentuan-ketentuan hukum pidana dalam kasus tindak pidana Illegal Logging yang terjadi di Sampit Kalimantan Tengah.

C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimana ketentuan-ketentuan hukum pidana dalam kasus tindak pidana Illegal Logging ?
2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana Illegal Logging ?


Minggu, 25 April 2010

PERANAN INTEL KEPOLISIAN RESOR PATI DALAM PELAKSANAAN PENYIDIKAN


A. Latar Belakang Masalah 
Pembangunan menghendaki adanya cara baru dan suasana baru yang sejalan dengan irama pembangunan, tentunya hal ini akan membawa konsekuensi pada perlunya ditinggalkan cara-cara lama yang sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dipertahankan lagi. Oleh karena itu, pembangunan yang hanya berorientasi pada aspek fisik semata tidaklah cukup apabila tidak disertai dengan pembangunan pada aspek non fisik, seperti perubahan pada cara berfikir dan bekerja.
Menurut Didik M. Arief Mansur dan Elisatria Gultom :
Salah satu ciri terbentuknya suatu negara adalah “a degree of civilization”, yaitu :
Tingkat peradaban negara yang diwujudkan dalam pembangunan nasional, sedangkan pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila, sebagai wujud pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Melalui kegiatan pembangunan diharapkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan. 

Untuk mencapai tingkat pembangunan nasional yang relatif ideal, disinilah pentingnya peranan hukum sebagai sarana perubahan sosial yang diciptakan guna menggerakkan masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan irama dan tuntutan pembangunan salam segala aspek kehidupannya. Di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaruan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan, bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dipandang penting dan diperlukan. 
Didik M. Arief Mansur dan Elisatria Gultom menyatakan bahwa :
“Hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana itu.” 

Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dibolehkan atau sebaliknya. Dengan demikian, hukum menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang melawan hukum. Dibandingkan dengan apa yang hukum (yang secara normatif diartikan sebagai apa yang seharusnya), hal melawan hukum inilah yang justru lebih menjadi perhatian dari penegakan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penegakan hukum (khususnya hukum pidana) merupakan reaksi terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Upaya aparat perlengkapan negara dalam menyikapi suatu perbuatan melawan hukum, dan menyikapi masalah-masalah penegakan hukum lainnya.
Hukum sebagai social control diharapkan dapat mengatasi tantangan yang ada. Kejahatan atau tindak kriminal merupakan satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap masyarakat, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial yang merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.
Dilihat dari sudut politik kriminal maka tidak terkendalinya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. Setidak-tidaknya perumusan pidana di dalam Undang-Undang yang kurang tepat dapat menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas. 
Secara yuridis formal, kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Karena itu, kejahatan tersebut harus diberantas, atau tidak boleh dibiarkan berkembang, demi ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat. Salah satu kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah penganiayaan, yaitu pada Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sampai Pasal 358 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Munculnya beberapa tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan sampai akhirnya mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang menimbulkan keprihatinan masyarakat maupun aparat penegak hukum. Salah satu bentuk kejahatan yang kian marak pada saat ini adalah pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Hal ini ditengarai dengan bertambah banyaknya jumlah pengguna sepeda motor, kurangnya perhatian pengendara sepeda motor pada saat parkir di tempat umum, dan kurangnya perlengkapan kunci pengaman (termasuk alarm). Para pencuri sepeda motor pun semakin canggih dalam melakukan operasinya, karena mereka juga memahami seluk belum keamanan kunci pengaman kendaraan, bahkan mereka membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 detik dalam setiap kegiatan pencurian kendaraan bermotor (baik sepeda motor maupun mobil).  
Masalah mendasar yang perlu dijadikan sebagai pedoman dalam penerapan hukum yang mencerminkan keadilan adalah bahwa secara yuridis orang yang bersangkutan benar-benar terbukti melakukan tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa untuk membuktikan secara yuridis terhadap pelaku tindak pidana pencurian, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal ini dikarenakan, pada umumnya pelaku tindak pidana akan berusaha untuk menghilangkan barang bukti atas tindak pidana yang dilakukan, sedangkan tindakan menghilangkan barang bukti oleh pelaku tindak pidana, tentunya akan menjadi masalah yang krusial bagi aparat penegak hukum dalam memberikan sanksi kepada pelaku tindak pidana. Hilangnya barang bukti, akan menambah rumit bagi penyidik untuk menemukan tersangka pelaku tindak pidana terutama pada kasus pencurian curanmor karena pelakunya sendiri seringkali langsung kabur atau melarikan diri. Sebagaimana diketahui bahwa proses penyidikan dan penyelidikan merupakan langkah awal yang harus ditempuh oleh aparat penegak hukum sebelum memutuskan status pelaku tindak pidana. Oleh karena itu diperlukan peran polisi intel masuk dalam kelompok-kelompok masyarakat untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Peranan Intel Kepolisian Resor Pati Dalam Pelaksanaan Penyelidikan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimana peranan polisi intel dalam proses penyilidikan di Kepolisian Resor Pati terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor ?
2. Apa saja yang menjadi hambatan polisi intel dalam proses penyelidikan di Kepolisian Resor Pati terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor ?